Saturday, June 20, 2009

Bapak

Wow, ternyata sudah lama aku enggak menyentuh blog ini. one month! yeah, many things happen. Dan selama satu bulan itu, aku merasa lebih baik setiap harinya. Lukaku sudah hampir kering dan aku bisa menatap masa depan dengan lebih bijaksana dan ceria. teman-temanku sungguh luar biasa. Mereka mendukungku, memelukku, berbicara berjam-jam denganku, bahkan hingga dini hari. Tak banyak orang mau melakukannya. Tapi mereka luar biasa. mungkin karena secara psikologis, cewek secara naluriah akan membantu temannya untuk memecahkan masalah mereka dengan berbicara dan mendengarkan.



Ada satu orang teman yang sangat spesial. Dia spesial, karena dia bukan cewek. dan kami terkadang berbicara berjam-jam. Well, semua temanku spesial, namun aku ingin bercerita tentang sahabat baruku ini. Kami telah berteman selama 21 tahun, seumur hidupku. Kami sering melakukan banyak hal bersama. Tak pernah berpisah, kecuali setelah aku kuliah. Namun, justru saat aku semakin dewasa dan bertumbuh, aku semakin memahaminya dan mampu berbagi dengannya dengan caraku. Aku tak pernah menduga aku bisa bersahabat dengannya. Ya, aku tak pernah menyangka aku bisa bersahabat dengan bapakku.

Waktu itu hampir tengah malam. hari kedua 'liburan' di rumah. Televisi menyiarkan pertandingan sepak bola, kurasa liga italia, namun aku lupa tim apa. Kami berdua sama-sama mengalami perubahan jam biologis sehingga baru bisa tidur setelah pukul satu atau pukul dua. Kami suka bicara mengomentari banyak hal, sehingga tak heran jika diskusi dengan bapak selalu menyenangkan. Malam itu kami membicarakan salah satu pemain yang gantung sepatu setelah pertandingan berakhir. Sepertinya masa depannya cerah, jadi kami tidak khawatir.

Entah ada dorongan apa (mungkin karena topik pembicaraan kami sudah habis), aku mulai mengutarakan perkembangan masalah yang sudah membuatku down sebulan terakhir. Aku tahu bapak juga khawatir akan kondisiku, jadi kupikir bapak perlu tahu bahwa aku baik-baik saja, setidaknya aku berjalan ke arah yang membawaku pada kondisi baik-baik saja. Aku menceritakan analisisku, fakta-fakta yang terjadi, dan keputusan yang kuambil terhadap masalah itu. Meskipun kami berdua tahu bahwa secara rasional kami bisa menerimanya, namun ini berat untuk hatiku. Sehingga bapak membiarkan saja waktu aku menangis. Tak ada larangan, tak ada keterkejutan dari bapak. Bapak hanya mengerti. Bapak tidak menyalahkan semua pihak yang telah terkait dengan masalah ini. Bapak hanya mengerti, memahami, dan bersimpati. Semua keputusan ada di tanganku. Bapak selalu bilang, "ini adalah hidupmu. Kamu yang akan menjalani semua keputusanmu, semua pilihanmu. Dan yakinlah, masalah yang datang padamu ini adalah kesempatan untuk mendewasakan dirimu."

Seperti ibuku, bapakku juga luar biasa. Rasionalitas yang ada padanya, mengajarkanku untuk tetap tegak berdiri meskipun hatiku hancur luar biasa. Membawaku pada dimensi penuh syukur atas semua yang masih kumiliki saat ini. Bapakku tidak pernah mengajarkan dendam. Tidak pernah mengajarkan kebencian. Bapak selalu mengajakku untuk memahami orang lain. Mencoba melihat orang lain dari berbagai sudut pandang. Ketika ada orang lain melakukan kesalahan, bapak tak pernah menempatkannya di sudut mati yang membuat orang tersebut tak layak disapa. Dari situlah perlahan-lahan aku memaafkan sakit hatiku dan memaafkan semua luka.

memaafkan. Itu yang ingin diajarkan bapak padaku, kali ini.

0 comments:

Post a Comment